Selasa, 17 Mei 2011

ISLAM DI AUSTRALIA

Australia
adalah
tempat
jumlah umat
Islamnya
terus
bertambah.
Menurut
sensus
terakhir tahun 2006, lebih dari 340.000
orang mengidentifikasi diri sebagai umat
Islam. Ini adalah sekitar 1,7 persen dari
total penduduk Australia. Islam secara
tradisional yang terkait dengan migran dan
para pendatang baru.
Hal ini terutama terjadi di tahun 1970-an,
tahun 1980-an dan 1990-an ketika
gelombang dari para pengungsi dan
migran yang baru tiba dari beberapa titik di
Timur Tengah. Tetapi semakin lama
komposisi umat Islam Australia berubah
dari imigran berkembang menjadi
penduduk asli.
Kini, hampir 40 persen dari umat Islam
Australia menganggap Australia sebagai
tempat mereka lahir. Hal ini berakibat
besar pada bagaimana generasi baru dari
umat Islam sendiri menentukan dan
mengartikulasi identitas mereka. Pada
tingkat yang paling dangkal, mereka sering
menggunakan bahasa Inggris sebagai
bahasa pilihan komunikasi. Di tingkat lebih
dalam, mereka melihat Australia sebagai
rumah tinggal dan tidak lagi punya
keinginan untuk kembali ke tanah leluhur
mereka, sebagaimana orang tua mereka
lakukan.
Struktur
Muslim Australia heterogen secara
kesukuan dan bahasa. Yang terbesar adalah
kelompok etnis Libanon, Turki, dan Arab
Afghan. Perbedaan suku dan bahasa
mempunyai perbedaan historis yang
mempengaruhi inisiatif masyarakat,
organisasi dan jamaahnya. Akibatnya,
masing-masing kelompok etnis cenderung
condong ke arah perbedaan masjid atau
organisasi etnis yang jelas.
Tetapi banyak umat Islam Australia yang
telah mencoba menjembatani etnis yang
terbagi. Ironisnya, penggunaan bahasa
Inggris telah menjadi ukuran yang paling
efektif untuk menyatukan umat Islam dari
berbagai latar belakang etnis dan linguistik.
Integrasi Muslim di Australia menghadapi
sejumlah tantangan. Beberapa tantangan
itu bersifat struktural dan terkait dengan
kemampuan Muslim Australia untuk
berpartisipasi secara efektif dalam kegiatan
ekonomi yang bermanfaat, sering
merupakan hal yang sulit bagi para
pendatang baru yang baru saja tiba.
Tantangan lain lebih subyektif dan terkait
dengan hambatan politik dan budaya.
Tantangan sosio-ekonomi
Komposisi sosial-ekonomi umat Islam di
Australia beragam. Ada beberapa umat
Islam yang telah berhasil mencapai posisi
kewenangan dalam bisnis, politik dan
pendidikan. Tetapi mayoritas Muslim
cenderung masih berada pada posisi
rendah.
Sensus Australia terakhir disorot karena
adanya kekhawatiran ketidakcocokan
dalam hal standar hidup dan akses
terhadap kekayaan antara Muslim dan non-
Muslim. Lebih dari 2 persen dari rumah
tangga muslim tidak terdaftar
pendapatannya; ini adalah dua kali jumlah
non-Muslim dalam kategori tersebut.
Dalam hal kepemilikan rumah, indikator
keuangan dan keamanan sebuah yayasan,
dari ‘Australian dream,’ Muslim
terdaftar hanya 15 persen. Kepemilikan
rumah di antara sisa penduduk ada pada
33 persen.
Pekerjaan
Angka kerja memperkuat ketidakcocokan di
atas antara Muslim dan semua masyarakat
Australia. Sedangkan untuk tingkat
pengangguran non-Muslim usia 25-45 ada
pada 5 persen, tingkat pengangguran yang
Muslim adalah 12 persen untuk kelompok
usia yang sama. Angka-angka ini
menunjukkan bahwa keamanan finansial
dan kemiskinan merupakan masalah serius
bagi umat Islam.
Kenyataannya, angka berkaitan dengan
pendapatan rumah tangga menempatkan
40 persen dari rumah tangga Muslim di
bawah garis kemiskinan. Masalah sosial-
ekonomi riil ini menjadi hambatan bagi
integrasi positif dan aktif dalam
masyarakat Australia.
Isolasi Setelah 9 / 11
Isu-isu politik memberikan tantangan baru.
Setelah serangan teroris 11 September dan
kemudian bom Bali, London dan Madrid,
pemerintah Australia yang liberal
mengadopsi serangkaian kebijakan luar
negeri dan dalam negeri yang secara luas
dianggap merugikan dan bias terhadap
umat Islam.
Aliansi pemerintah Australia dengan
Amerika Serikat dalam Perang melawan
Teror mengambil tentara Australia ke Irak
dan Afghanistan-perang yang dianggap
oleh banyak orang sebagai menjadikan
umat Islam target. Kasus Irak secara
khusus telah menghasilkan kegelisahan di
kalangan umat Islam Australia.
Mereka tidak dapat memahami mengapa
Pemerintah Australia mengabaikan
sentimen mayoritas menentang perang,
yang dinyatakan di publik jalan-jalan besar
kota Melbourne dan Sydney, dan memilih
untuk terlibat dalam perang dengan dasar
hukum yang meragukan. Apakah aliansi
dengan Amerika Serikat lebih penting
daripada menghormati hukum
internasional?
Keterlibatan Australia dalam perang
melawan teror merupakan pengalaman
pengasingan bagi banyak umat Islam. Hal
ini menjadi lebih nyata dengan adopsi
undang-undang anti-teror. Undang-
undang ini telah dikritik oleh organisasi
sipil liberal dan kelompok Muslim sebagai
penargetan warga Muslim, daripada
dugaan tidak bersalah bagi mereka.
Kekuatan badan-badan keamanan untuk
menahan tersangka teror tanpa perlu
memberikan bukti atau mengenakan kasus
itu kepada proses peradilan, melemahkan
tersangka untuk membela diri. Tersangka
teroris menjadi tersangka bersalah sampai
dibuktikan sebaliknya. Membuktikan bahwa
mereka bukan teroris adalah hal yang
mustahil, dan banyak mengkhawatirkan
bahwa umat Islam diletakkan dalam posisi
yang mustahil tersebut.
Pada tahun 2007 ketika seorang dokter
tamu dituduh ada hubungan dengan sel
teror di Inggris, kekhawatiran itu terbukti.
Dr. Haneef-nama orang itu-memang
akhirnya dibebaskan dari setiap tuduhan,
tapi tidak sebelum ia kehilangan pekerjaan
dan diusir dari Australia. Ini adalah tragedi
pribadi yang dirasakan oleh seluruh
penduduk Muslim di Australia. Kasus
Haneef adalah kasus yang sangat efektif
adalah meniup ke diri umat Muslim rasa
kepercayaan diri dan keyakinan di Australia.
Dalam konteks ini, Pemerintah Australia di
bawah kepemimpinan John Howard telah
terlibat dalam kampanye populis untuk
mempresentasikan dirinya sebagai
pelindung terbaik bagi Australia.
Penekanan pada nilai-nilai Australia dan
pengenalan ujian kewarganegaraan, di
tengah laporan-laporan media akan warga
Irak dan Afganistan yang mencari suaka
tiba di pantai Australia, membuat tegang
hubungan antara Muslim dan non-Muslim.
Rasa Terluka
Laporan dan survei tentang Muslim
Australia telah mencatat dengan gamblang
rasa terluka dan pengasingan karena cara
Pemerintah Australia menggambarkan
umat Islam, padahl itu dilakukan untuk
kepentingan sendiri untuk keuntungan
politik. Pengasingan umat Islam juga
dengan jelas dilakukan oleh media yang
meliput Islam.
Ada kemarahan di kalangan umat Islam
dengan cara media menyamakan Islam
dengan terorisme. Jelas ada rasa tidak puas
di antara umat Islam terhadap media dan
kebijakan pemerintah yang lalu. Banyak
umat Islam memandang diri sendiri
sebagai masyarakat ’sasaran’;
diperparah oleh marginalisasi sosial-
ekonomi, pengalaman ini cenderung
mengikis kepercayaan diri dan tantangan
prospek integrasi. Bahayanya di sini adalah
isolasi diri. Tetapi Muslim Australia tidak
mampu melakukan itu. Jika prasangka dan
kesalahpahaman dihadapi dan dikoreksi,
Muslim harus proaktif dan terlibat dalam
debat publik.
Perubahan pemerintahan di Australia pada
akhir tahun 2007 menawarkan harapan
baru. Pemerintah Buruh Kevin Rudd, tidak
terlibat dalam stereotyping populis
tentang Muslim, tetapi, lebih menekankan
‘inklusi sosial’. Muslim Australia dapat
mengambil hati dari hal ini dan mengambil
manfaat dari kesempatan yang ada.
[nuansaislam]
Penulis: Profesor Shahram Akbarzadeh,
Deputi Direktur National Centre of
Excellence for Islamic Studies di Universitas
Melbourne.
Sejarah Masuknya Islam ke Australia
Sejarah masuknya Islam ke Australia
dimulai dari interaksi pertama kali nelayan
yang berasal dari Sulawesi Selatan
(Indonesia) dengan penduduk asli di
bagian Utara Australia (Aborigin) pada
sekitar tahun 1750. Tidak banyak jumlah
Muslim yang tinggal di Australia saat itu,
sampai pada sekitar tahun 1860
serombongan penggembala onta berasal
dari Afganisthan datang ke Australia
menambah jumlah Muslim yang tinggal di
Australia.
Pada abad ke 19 Australia mempunyai
banyak daerah/tanah yang kaya akan
sumber daya alam yang belum
tereksploitasi.Sebagian besar dari tanah
tersebut berupa padang pasir dengan
temperatur yang sangat tinggi dengan
sedikit sumber mata air. Onta merupakan
binatang ideal untuk kondisi tersebut,
maka pada tahun 1840 seorang bernama
Horrick memasukkan (import) pertama kali
onta ke Australia, dia ingin
membandingkan antara onta dan kuda
sebagai hewan pengangkut barang di
padang pasir, tetapi missi ini gagal.
Kelompok onta selanjutnya datang pada
tahun 1860 sebanyak 24 onta. Dengan
mencoba mempergunakan onta sebagai
hewan pengangkut, Australia
membutuhkan orang-orang yang ahli
dalam mengendarai dan mengoperasikan
onta, maka didatangkanlah untuk pertama
kali orang-orang Afghanistan untuk
mengoperasikan 24 onta tersebut, dan
tidak lama setelah itu berdatangan lebih
banyak Muslim Afghanisthan ke Australia.
Sekitar 10.000 sampai 12.000 onta
didatangkan ke Australia dalam kurun
waktu antara tahun 1860 sampai 1907.
Sekitar 3000 orang Muslim berasal dari
Afghanistan bekerja sebagai pengangkut
barang-barang, air, serta makanan dengan
mempergunakan onta di daerah-daerah
yang sulit. (A. Saeed, Islam in Australia,
Allen & Unwin, 2003). Para penggembala
onta dari Afghanistan ini menemukan
tempat yang hampir sama kondisinya
seperti di daerah asal mereka di Australia
tengah, mereka mengendarai ontanya dan
berjalan melintasi padang pasir sekitar 600
km untuk mengangkut barang-barang
kebutuhan utama dan penting dari
Oodnadatta menuju Alice Springs (Australia
Tengah). “Kontribusi mereka dalam
membuka areal serta jalur umum untuk
masyarakat luas di daerah-daerah Australia
sangat besar dan penting. Tulang
punggung perekonomian tradisional
Australia saat itu yaitu agriculture dan
pertambangan sangat membutuhkan onta
sebagai alat transportasi beserta
penggembalanya” (Tin Mosques and
Ghantowns – Christine Stevens 1989).
Dengan berakhirnya era transportasi
industri mempergunakan onta pada sekitar
tahun 1920, serta peraturan yang lebih
ketat dari badan Imigrasi Australia
berkenaan dengan sedikitnya populasi
warga kulit putih Australia, maka jumlah
Muslim Afghanistan yang dating ke
Australia menjadi berkurang. (B. Cleland,
The Muslims in Australia: A Brief History,
Islamic Council of Victoria, 2002).
Pada sekitar tahun 1960, disebabkan
peraturan yang lebih longgar dari badan
Imigrasi Australia berkenaan dengan
migrasi bangsa non-Eropa ke Australia,
jumlah Muslim yang datang ke Australia
menjadi bertambah. Pada sekitar tahun
1960 dan sekitar tahun 1970 dalam jumlah
yang cukup besar terjadi migrasi Muslim
dari Lebanon dan Turki ke Australia, dimana
jumlah Muslim terbesar di Australia saat ini
berasal dari ke dua Negara tersebut. Jumlah
Muslim terbesar yang tinggal di Australia
saat ini berasal dari bangsa Arab,
dibandingkan dengan bangsa Arab lainnya
Muslim yang berasal dari Lebanon
mempunyai jumlah terbesar dan sejarah
migrasi yang lebih panjang/lama. Migrasi
pertama bangsa Libanon ke Australia
terjadi pada sekitar akhir tahun 1880-an.
Gelombang kedua migrasi terjadi antara
tahun 1947 sampai dengan 1975, terutama
setelah terjadi perang antara bangsa Arab
dan Israel pada tahun 1967. Gelombang ke
tiga terjadi pada tahun 1976 setelah terjadi
perang sipil di Lebanon. Bangsa Arab lain
yang mempunyai populasi terbanyak di
Australia adalah dari Mesir. Seperti halnya
bangsa Lebanon, migrasi bangsa Mesir ke
Australia terbesar terjadi setelah perang
dunia II, migrasi ini terjadi dalam dua
gelombang yaitu antara tahun 1947
sampai dengan 1971, dan gelombang ke
dua terjadi pada sekitar akhir 1980-an. (A.
Saeed, Islam in Australia, Allen & Unwin,
2003).
Muslim di Australia saat ini
Berdasarkan sensus dari Australian Bureau
of Statistics (ABS) pada tahun 2001, jumlah
Muslim di Australia sebesar 281.578 orang,
atau 1,5 % dari populasi jumlah penduduk
Australia. Sedangkan menurut estimasi dari
salah satu lembaga Islam di New South
Wales (NSW) mencapai 300.000 orang.
Sensus juga menunjukkan bahwa Muslim di
Australia berasal dari berbagai Negara,
dengan hanya 20,8 % berasal dari Lebanon
dan 14.5 % berasal dari Turki, sedangkan
64.7 % berasal dari sekitar 9 negara
(Indonesia, Afghanistan, Bosnia, dsb).
Sensus tersebut juga menunjukkan bahwa
Muslim Australia mempunyai pendidikan
yang cukup baik dibandingkan dengan
penduduk Australia secara keseluruhan,
21,7 % dari Muslim Australia yang berusia
di atas 15 tahun mempunyai gelar sarjana
(bachelor degree) atau lebih tinggi,
prosentase ini lebih tinggi dibandingkan
dengan 12,4 % dari penduduk Australia
secara keseluruhan. Kesimpulan penting
dari hasil statistik ini adalah bahwa
anggapan negatif tentang mayoritas
Muslim Australia tidak berpendidikan
terutama yang berasal dari bangsa Arab
adalah tidak berdasar.
Aktifitas Ibadah
Dalam melakukan aktifitas ibadah Muslim
di Australia mempunyai lebih dari 85 Masjid
dan sekitar 50 musolah (tempat sholat),
disamping itu di beberapa daerah yang
jauh dari Masjid beberapa Muslim
berinisiatif untuk menyewa gedung
(misalnya gedung pusat kegiatan
komunitas) untuk dijadikan tempat sholat
jum’at. Untuk membangun sebuah Mesjid
memerlukan prosedur tertentu yang telah
ditetapkan oleh pemerintah yang harus
dipenuhi syarat-syaratnya sebagaimana
membangun gedung-gedung untuk
kepentingan umum lainnya.
Secara individual biasanya Muslim
mempunyai masalah dalam melakukan
aktifitas ibadah sholat pada saat hari kerja,
yang paling banyak mengalami masalah
adalah pada saat pelaksanaan shalat
Jum’at. Apabila menghadapi masalah
sulitnya melaksanakan sholat Jum’at,
muslim yang taat memilih keluar dari
tempat kerja atau mengorganisasi
beberapa muslim yang berdekatan tempat
kerjanya untuk melaksanakan sholat
Jum’at, sedangkan muslim yang kurang
taat melaksanakan ibadahnya memilih
meninggalkan sholat Jum’at. Kegiatan
keagamaan di Australia cukup semarak, hal
ini bias dilihat dari banyaknya majelis
taklim atau kelompok-kelompok pengajian
yang ada, bahkan beberapa gerakan Islam
cukup aktif terlihat melakukan berbagai
aktifitas.
Kondisi Muslim Australia Pasca Bom London
7 Juli 2005
Tidak lama setelah terjadi peristiwa
meledaknya bom di London 7 Juli 2005,
pemerintahan Negara Barat segera
melakukan kampanye terus menerus untuk
memberlakukan undang-undang khusus
bagi umat Islam yang tinggal di Negara
Barat. Mereka mencoba membentuk opini
menyesatkan kepada masyarakat bahwa
undang-undang baru tersebut
dimaksudkan untuk melindungi dan
memerangi bahaya serangan terorisme di
Negara mereka. Tetapi tidak bisa dielakkan,
agenda tersembunyi dari kampanye
tersebut yaitu membidik serta
melemahkan Islam dan Muslim di Negara
Barat segera terlihat nyata.
Strategi dan agenda tersembunyi yang
ditunjukkan oleh Pemerintahan Negara
Barat mempunyai banyak kesamaan.
Propaganda yang dimulai dengan alasan
yang dicari-cari untuk memerangi
terorisme, segera diperluas untuk
memerangi apa yang mereka sebut dengan
pendapat/ide radikal dan ekstrim, strategi
ini ditargetkan untuk memecah belah
Muslim dengan memberi predikat muslim
moderat dan muslim radikal/ekstrim.
Di Australia target juga diarahkan ke
sekolah-sekolah muslim, dimana
pemerintah akan meninjau kembali
kurikulum yang diajarkan di sekolah-
sekolah tersebut. Rencana ini segera
mendapat reaksi keras dari sekolah-sekolah
muslim, karena kurikulum yang diajarkan
saat ini tidak beda jauh dengan apa yang
diajarkan di sekolah-sekolah lainnya,
bahkan banyak murid dari sekolah-sekolah
muslim tersebut yang mempunyai prestasi
lebih tinggi dibandingkan dengan sekolah
lainnya. Pemerintah juga mengusulkan
agar di sekolah-sekolah muslim lebih
banyak diajarkan nilai-nilai kemasyarakatan
Australia, seperti toleransi, tanggung jawab
dan sebagainya, dimana nilai-nilai tersebut
juga ada dalam Islam dan sudah diajarkan
di sekolah-sekolah muslim tersebut, lebih
dari itu sekolah-sekolah muslim dalam
kurikulum belajar tidak pernah
mengajarkan tindakan terorisme.
Sedangkan di masjid-masjid, pemerintah
mengusulkan agar para Imam masjid diberi
pengarahan apa yang seharusnya boleh
mereka ceramahkan.
Tidak hanya sampai disitu, anggota
parlemen dari partai Liberal Bronwyn
Bishop mengusulkan agar melarang
pemakaian jilbab di sekolah-sekolah
umum, karena jilbab dianggap
bertentangan dengan nilai-nilai
kemasyarakatan Australia tentang
persamaan dan menyebabkan perpecahan
di sekolah-sekolah. Usulan ini juga
mendapat tantangan keras baik dari
muslim maupun non muslim, sebagian
besar yang menentang usulan itu
mengatakan bahwa tidak ada bukti
pemakaian jilbab di sekolah-sekolah
menyebabkan perpecahan dan persamaan
hak. Kerry Cullen salah satu kepala sekolah
menengah umum tingkat atas (SMTA) di
Sydney mengatakan bahwa di sekolahnya
hanya ada satu orang yang menggunakan
jilbab merah kecoklatan dimana warna
tersebut sesuai dengan seragam
sekolahnya, dan itu bukan suatu masalah di
lingkungan sekolahnya. Tidak pernah ada
laporan negatif dari guru-guru atau murid-
murid yang disebabkan oleh pemakaian
jilbab. Kepala sekolah lainnya mengatakan
bahwa kita tidak pernah melihat adanya
perpecahan yang disebabkan oleh
pemakaian jilbab, kami melihatnya sebagai
sebuah keragaman budaya.
Hubungan Muslim dan Non Muslim serta
harapan Muslim di Australia
Secara umum hubungan Muslim dan Non
Muslim di Australia cukup baik, terutama
sebelum terjadi peristiwa 11 September.
Tetapi setelah peristiwa 11 September,
bom bali, kemudian disusul bom London
banyak Muslim yang mendapat perlakuan
kurang menyenangkan baik oleh
masyarakat umum maupun oleh
pemerintah dan media massa. Namun
demikian hubungan personal antara
Muslim dan Non Muslim masih cukup baik,
meskipun terkadang sebutan teroris baik
dalam nada bercanda maupun serius sering
dilontarkan Non Muslim kepada Muslim,
sebutan atau label teroris ini terkadang
kurang menyenangkan bagi Muslim.
Secara umum harapan Muslim yang tinggal
di Australia adalah bisa lebih mudah
menjalankan aktifitas ibadahnya terutama
ibadah sholat Jum’at, sedangkan harapan
yang ditujukan kepada pemerintah
Australia dan media massa adalah tidak
terus menerus menyudutkan Muslim
dengan memberi label-label yang tidak
menyenangkan seperti ekstrimis, radikal,
teroris dan sebagainya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar